Oknum Pengusaha di Nunukan Diduga Babat 8 Hektar Lahan Mangrove

NUNUKAN – Seorang oknum pengusaha di Kabupaten Nunukan diduga melakukan pembabatan
lahan kurang lebih 8 hektare tanaman bakau atau mangrove, di RT 08 Desa Binusan dan
diubah menjadi lahan tanaman kelapa pandan.

Persoalan ini menjadi sorotan LSM Pancasila Jiwaku (Panjiku) Haris Arlek. Ia mengatakan,
dugaan pembabatan lahan sudah terjadi sejak 2019.

Kendati demikian, tidak pernah terdengar adanya penindakan atau respon dari pemerintah
daerah, ataupun instansi keamanan di Nunukan. “Kegiatan pembabatan mangrove itu terjadi
mulai 2019 lalu. Saat ini saya temukan lebih kurang delapan hektare sudah menjadi lahan
kelapa pandan,” ujarnya, Rabu (2/2).

Klaim kepemilikan oleh oknum dimaksud, dikatakan Haris sangat janggal. Pasalnya, kawasan
pesisir pantai ditumbuhi mangrove yang cukup lebat. Sebelum akhirnya dibersihkan menjadi
lahan kelapa pandan.

“Kontras sekali dengan program Presiden Joko Widodo. Yang ingin menjadikan Kaltara sebagai
wilayah mangrove terbesar di dunia, dengan program untuk menanam 600 ribu batang
mangrove,” ungkapnya.

Kanan

Menurutnya, indikasi pembiaran oleh stakeholder tentu harus disorot. Terlebih lagi, kasus
penebangan mangrove berimplikasi pada hukum pidana. Haris menegaskan, penebangan
mangrove memiliki konsekuensi berat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan.

Selain itu, larangan pembabatan pohon atau mangrove di pinggir laut tertuang dalam pasal 50
Undang-Undang Kehutanan. Masalah pidananya, ada pada pasal 78 dengan ancaman 10 tahun
penjara dan denda Rp 5 miliar.

Dikatakan Haris, indikasi pembiaran ini seharusnya tidak terjadi. Meski seandainya para
stakeholder di Nunukan mengacu pada nihilnya kewenangan pengawasan dan tupoksi. Karena
sudah diambil alih provinsi, setidaknya ada koordinasi dan pemetaan sebagai bahan rujukan
dan laporan.

“Kita yang merasakan dampaknya. Jangan main-main dengan perusakan mangrove, itu bukan
sepele. Kalau tidak memiliki kewenangan lagi, mengingatkan dan meminta provinsi turun ke
lapangan. Tak perlu alasan kewenangan, sementara kerusakan di depan mata demikian masif
tanpa penindakan,” kesalnya.

Sementara itu, Kepala UPT KPH Nunukan Roy Leonard membenarkan terjadinya kerusakan
mangrove di wilayah hutan bakau Desa Binusan. Namun terkait penindakan, menurut Roy,
kewenangan Dinas Kehutanan yang dikebiri, membuat ruang gerak terbatas.

Alhasil, perusakan kawasan hutan atau tanaman yang dilindungi terus terjadi di Nunukan.
“Masalah kewenangan masih samar-samar. Sementara KPH diberi tugas wilayah kawasan
hutan. Boleh melarang, tapi secara hitam di atas putih tidak bisa. Ini permasalahan kompleks
dan butuh penanganan komprehensif dari banyak pihak,” tuturnya.

Roy memastikan, kawasan bakau yang rusak ada di lahan dengan status Areal Penggunaan Lain
(APL). Bukan di kawasan Hutan Lindung Pulau Nunukan (HLPN).

Artinya, kewenangan lebih menitikberatkan pada DLH. Namun bisa jadi berbenturan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltara.

Akibat pengalihan kewenangan, membuat kondisi HLPN hanya tersisa 10 persen dari total luas lahan 2.800 hektare.

UPT KPH Nunukan memiliki tugas di 3 wilayah. Masing-masing di unit 4, di wilayah Nunukan,
unit 3 wilayah Kecamatan Sembakung, dan unit 1 di dataran tinggi Krayan. Dengan luas
kawasan hutan kurang lebih 600 ribu hektare.

“Butuh kolaborasi dengan banyak pihak, kalau sendiri kami tidak kuat dan tentu akan
berbenturan kewenangan dengan DKP. Kita juga akan segera koordinasi dengan Sekda
membahas masalah ini,” ujarnya.

Senada dengan penjelasan Roy, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) DLH Nunukan
Emanuel Payong Sabon mengaku tidak bisa berbuat banyak atas kondisi yang terjadi.

“Kembali kepada kewenangan yang dikebiri. Kita tidak bisa bertindak tanpa dasar hukum yang
jelas. Yang ada nanti malah disalahkan. Jadi ketika semua kewenangan ditarik, pengawasan
melekat ke pemilik kewenangan,” katanya.

Emanuel juga mengakui, masifnya kerusakan mangrove yang terjadi. Ia hanya meminta para
aktifis lingkungan di Nunukan, untuk melaporkan peristiwa tersebut sebagai dasar laporan dan
penindakan.

“Kita bergerak kalau ada laporan dari masyarakat. Kalau tidak ada, untuk pemetaan dan
peninjauan bahkan kami tidak bisa,” pungkasnya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button