Hijrah Perubahan Sosial Politik Menuju Legeslator

Oleh: Dr. Ir. H. Suheriyatna, MSi
(Politisi Partai Demokrat Kalimantan Utara)

Menjadi sebuah pertanyaan, sejauh mana relevansi dan signifikansi wacana hijrah yang sarat dengan spirit reformasi dalam perspektif sosio-politik di Tanah Air?

Perspektif Politik
Salah satu problem politik yang kita hadapi selama ini adalah bagaimana menciptakan sebuah bentuk politik (pemerintahan-negara) yang mampu menjawab permasalahan khas masyarakat majemuk seperti yang ada di negara kita.

Sayangnya, kesadaran akan kondisi sekarang bangsa ini justru sering ditekan dan dicoba digantikan dengan kesadaran semu  di dalam homogenitas.

Implikasinya, politik yang dibangun adalah bentuk yang sama sekali berbeda dan berlawanan dengan jati diri bangsa kita, yakni otoritarianisme yang dikendalikan sepenuhnya oleh elite oligarkis sipil,  pemilik modal, dan para teknokrat.

Kanan

Bangunan politik semacam inilah yang dengan tangan besi ditegakkan oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun lalu. Tampaknya, kini mulai hidup kembali seperti politik dinasti yang mewarnai sebagian wilayah di negeri ini.

Politik dinasti mengisyaratkan kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Gejala ini muncul bak cendawan di era pilkada langsung maupun Pemilu di Indonesia.

Tidak ada aturan yang melarang keluarga untuk bisa berpartisipasi aktif mencalonkan diri untuk memperebutkan jabatan politik baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.

Akibatnya, pejabat petahana, baik sengaja maupun tidak sengaja, mendorong keluarganya untuk maju mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Fenomena inilah yang terus berkembang di Tanah Air ketika pilkada ataupun Pilcaleh diselenggarakan.

Sebut saja dinasti politik yang dibangun di beberapa daerah dan dinasti politik lainnya, semakin menggambarkan betapa pemilu legislatif maupun pilkada pada khususnya membuka peluang yang besar bagi kemunculan dinasti politik tersebut.

Dengan bentuk politik seperti itu, sangat tidak mungkin dihasilkan sebuah proses pengambilan keputusan yang berorientasi kepada publik. Yang muncul adalah keputusan-keputusan politik dan program-program atau kebijakan-kebijakan yang pada intinya adalah peneguhan dominasi oligarki.

Karena itu, dalam tataran politik, sebuah perombakan total atau sistemik yang diperlukan adalah dari visi politik yang integralistik diubah menuju visi kewarganegaraan.

Dengan perubahan seperti ini, sebuah pemerintahan-negara yang sadar akan jati dirinya dapat diciptakan, karena visi kewarganegaraan di dalam dirinya mengandung penolakan terhadap dominasi negara.

Dengan visi demikian akan dapat diciptakan pula sebuah sistem dan format politik yang benar-benar apresiatif dan sensitif terhadap prinsip-prinsip negara demokrasi, seperti pemisahan kekuasaan, rule of law, penghormatan dan perlindungan HAM, serta pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat.

Perubahan visi di atas juga meniscayakan terjadinya pola hubungan baru antara negara dan masyarakat, antara legislatif dan eksekutif, dari dominasi dan hegemoni menuju keseimbangan dan kemitraan. Untuk itu, proses pemberdayaan masyarakat yang selama ini berada pada posisi subordinat harus menjadi prioritas utama.

Di sinilah letak relevansi penerapan paradigma civil society, sebagai alternatif dari paradigma status quo yang selama ini dianut. Sebab, paradigma status quo telah mengakibatkan terjadinya marginalisasi secara masif, selain diskriminasi terhadap mereka yang tidak tunduk kepada negara.

Dan status quo inilah yang semestinya bertanggung jawab atas terjadinya berbagai ketimpangan sosial dan ekonomi, ketidakadilan dalam distribusi pendapatan, dan juga dislokasi sosial.

Nah, terkait dengan makna kontekstual hijrah yang sarat dengan spirit reformasi dan menuntut adanya transformasi nilai-nilai yang mampu mengangkat kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, untuk masa kini dan mendatang.

Salah satu prasyarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh seluruh komponen bangsa ini adalah adanya keberanian meninggalkan paradigma status quo menuju paradigma civil society.

Wujudnya berupa keberanian untuk mereformasi dan meninggalkan paradigma status quo yang sarat dengan sekat-sekat eksklusif, diskriminatif, ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, politik, dan ideologi. Untuk kemudian berhijrah dan membangun terbentuknya civil society yang dipenuhi dengan hubungan emosionalitas dan kharismatik antara rakyat dan penguasa, serta hubungan yang harmonis dan inklusif di antara sesama warga di tengah pluralisme sosial dan keagamaan di Indonesia.

Inilah yang dahulu diterapkan oleh Nabi SAW setelah berhijrah dari Makkah dan menetap di Madinah, membangun pemerintahan yang paripurna. (*)

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button